Adakah keindahan yang agung dan mulia, bahkan mengharukan, terkecuali Alquran? Maka, seperti kisah Umar bin Khatab yang gemetar saat pertama mendengar ayat suci, seorang lelaki separo baya mencucurkan air mata saat menyimak bacaan (ayat suci) Imam Masjidil Haram Abdur Rahman Sudais. Ini ketika ia shalat berjamaah di masjid yang diagungkan itu.
Pria itu tentu bukan sekaliber Umar. Tapi, seperti Umar, ia merasa untuk pertama kali terpesona, saat ayat suci bukti kemahakuasaan Allah, dilantunkan di "pekarangan" rumah Allah. Suara pelantunnya Abdur Rahman Sudais, baginya termasuk bukti kemahakuasaan Allah karena dikaruniai suara indah dan menjadi imam bagi Muslim sepenjuru dunia saat musim haji begitu bening, fasih dan berirama, dan indah.
Hidayahkah namanya, saat bacaan itu meresap ke hati, menyebabkan tanpa disadarinya menitikkan air mata? Kemahaindahan-Nya gerangan yang menggenangi bilik hatinya, ketika di puncak keterpesonaannya, ia menyadari Alquran puncak keagungan dan keindahan yang mulia dan tak bertara di alam semesta ini? Mengapa baru kali ini, di saat usia memasuki 40-an, ia merasakan hal demikian kendati telah berulang mendengarkan pembacaan ayat suci?
Harap maklum, lelaki itu tidak memiliki tradisi pesantren. Ia pun tak menguasai bahasa Arab, bahkan, tak tahu mengaji. Ketika kecil, ia menggiliri rumah-rumah pengajian, tetapi gagal untuk dapat membaca kalam suci itu. Di saat remaja, ia mencoba mengulangi belajar mengaji, tetapi urung untuk mampu membacanya. Hatinya membatu karena diasuh tradisi "lelaki pantang menangis".
Sepanjang usianya, ia berjarak dengan kalam suci itu. Jika sesekali tanpa sengaja mendengarkan orang mengaji, ia sekadar mendengar, tanpa keinginan meresapkannya. Di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka ... (QS. 6:25)
Tapi, mengapa mendadak engkau menangis, wahai lelaki? Hati, mengutip Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di bukunya Rahasia Dibalik Rahasia (Penerbit Risalah Gusti), tempat ruh suci. Di situ, dibangun ruang yang indah, untuk menyimpan rahasia antara hamba dan Allah. Tak sulit bagi-Nya ketika hendak menyingkapkan rahasia-Nya ke hati seseorang yang terpilih.
Maka, kun fayakun, hati seseorang yang semula membatu, seketika meleleh mengalirkan air mata. Seorang Umar yang bengis, seketika gemetar saat mendengarkan kalam suci, dan berubah menjadi sahabat terdekat Nabi SAW. Seorang purnawirawan yang dididik keras oleh karier militernya, seketika lembut dan mengihiasi sisa hari-harinya dengan mempelajari Alquran. Rocker liar seperti Gito Rollies maupun Ikang Fawzi, ketika mendapatkan titipan hidayah-Nya, berubah total: menjadi penyeru kebajikan.
Maka, di rumah Allah ketika seorang imam yang telah diangkat Allah derajatnya membacakan kalam suci, ada hati yang merintih. Air mata yang mengalir berasal dari telaga keindahan Alquran. Sejak itu, setiap mendengarkan pembacaan Quran, hatinya bergetar. Dengan rasa pesona, pada keheningan dinihari sembari menanti subuh, ia mencoba memahami Quran melalui bahasa ibunya kendati seringkali terjemahan tak terlampau persis dengan bahasa aslinya. Bukan membaca yang kerap banyak dilakukan umat tetapi memahami.
Pemahamannya justru membuatnya kian terpesona. Betapa Quran merupakan sumber pengetahuan, tuntutan kehidupan (sayang, mengapa banyak di antara saudaranya sesama Muslim, masih sekadar membaca, bahkan, menjadikannya "azimat" yang dipajang dengan rasa hormat berlebihan. Bukankah penghormatan itu selaiknya dengan memahaminya sekaligus menjadikannya tuntunan bagi kehidupan). Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita... (QS 14:1)
Sebagai sumber pengetahuan dan tuntunan, keindahannya terjaga ketika memberi petunjuk. Pengarang manakah gerangan yang mampu merajut keindahan yang agung ketika tegas dalam menerangkan? Lazimnya, seorang pengarang hanya mampu menyusun keindahan dengan mendayu-dayu seperti naskah ini, bukan ketegasan. Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan Tuhan semesta alam ...(QS 26:192)
Ia sungguh-sungguh mempercayai jika Quran berasal dari-Nya yang dibawa turun Ar-Ruh Al-Amin ke dalam hati Muhammad. Tak sekadar mempercayai, bahkan, ia takjub saat Allah terkesan dalam kekariban tak berjarak pada Nabi saat memberikan tuntunan keluarga di surah Al Ahzab (terdapat juga di surah At Tahriim saat memberikan tuntunan kehidupan berumahtangga).
Di hatinya, ia merasakan sapaan ''hai Nabi'' pada surat tersebut, laiknya sapaan santun tetapi sangat bersahabat dalam penghormatan dari Maha Dzat kepada sosok yang telah dimuliakan-Nya. Ada nuansa psikologis tak terperikan terutama saat memberikan tuntunan berumahtangga. Siapakah yang begitu teliti hingga menyulamkan nuansa psikologis pada sapaan terkecuali Ar Rasyiidu?
Bila ia mampu mencerapi nuansa di balik kalam suci yang menyebabkannya berurai air mata; jika seorang Umar gemetar mendengarkan firman-Nya, adakah Quran itu sekadar kebohongan tipu daya seperti yang ditudingkan mereka yang musyrik?
Senin, 30 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar